Postingan

[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~Bagian 1⃣~

======================

🌀🔐🙌 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari

☝Alhamdulillah pada edisi ini dan selanjutnya, insya Allah kita akan melihat beberapa penjelasan berkenaan dengan sifat shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam.
👋 Sebagian besar pembahasan di sini sengaja penulis nukil dari kitab yang mubarak, Shifat Shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dan “Asal-nya” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam), yang ditulis oleh Asy-Syaikh yang mulia, Muhammad ibnu Nuh, Nashiruddin Al-Albani rahimahullah.

📚 Karena kitab yang beliau susun tersebut merupakan karya yang paling lengkap memuat sifat shalat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dalam babnya, sebagaimana hal ini dikatakan oleh guru besar kami, Syaikh yang mulia, Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.

👉 Disamping itu, penulis juga berupaya menukil dan menambahkan dari beberapa referensi lainnya sebagai tambahan faedah berkenaan dengan pembahasan ini. ‘Tak ada gading yang tak retak’, mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua. Wallahul muwaffiq ilash shawab.

🔑 (1) Niat

Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Hanyalah amal itu dengan niat dan setiap orang hanyalah beroleh apa yang ia niatkan.”

(HR. Al-Bukhari no. 54 dan Muslim no. 4904)

✒ Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

“Niat adalah maksud. Maka orang yang hendak shalat menghadirkan dalam benaknya shalat yang hendak dikerjakan dan sifat shalat yang wajib ditunaikannya, seperti shalat zhuhur sebagai shalat fardhu dan selainnya, kemudian ia menggandengkan maksud tersebut dengan awal takbir.”

(Raudhatuth Thalibin, 1/243-244)

⚠ Sudah berulang kali disebutkan bahwa niat tidak boleh dilafadzkan. Sehingga seseorang tidak boleh menyatakan sebelum shalatnya, “Nawaitu an ushalliya lillahi ta’ala kadza raka’atin mustaqbilal qiblah…” (Aku berniat mengerjakan shalat karena Allah Subhanahuwata'ala sebanyak sekian rakaat dalam keadaan menghadap kiblat…).

⛔ Melafadzkan niat tidak ada asalnya dalam As-Sunnah. Tidak ada seorang pun sahabat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam yang membolehkan melafadzkan niat. Tidak ada pula seorang tabi’in pun yang menganggapnya baik.

📚 Demikian pula para imam yang empat. Sementara kita maklumi bahwa yang namanya kebaikan adalah mengikuti bimbingan As-Salafush Shalih.

🔇 Ada kesalahpahaman dari sebagian pengikut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah terhadap ucapan beliau, dalam masalah haji,

“Apabila seseorang berihram dan telah berniat dengan hatinya, maka ia tidak diharuskan menyebut niat itu dengan lisannya. Haji itu tidak seperti shalat, di mana tidak shahih penunaiannya terkecuali dengan nathq

(pelafadzan dengan lisan).”

📋 Maka hal ini dijelaskan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i Asy-Syafi’i rahimahullah dalam kitab Al-’Aziz Syarhul Wajiz yang dikenal dengan nama Syarhul Kabir (1/470):

“Jumhur ulama kalangan Syafi’iyyah berkata: ‘Al-Imam Asy-Syafi’i –semoga Allah Subhanahuwata'ala meridhainya– tidaklah memaksudkan dengan ucapannya tersebut adanya pelafadzan niat dengan lisan (tatkala hendak mengerjakan shalat). Yang beliau maksudkan adalah takbir (yaitu takbiratul ihram, pen.), karena dengan takbir tersebut sahlah shalat yang dikerjakan. Sementara dalam haji, seseorang menjadi muhrim walaupun tanpa ada pelafadzan.”

✒ Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Bila Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat, beliau langsung mengucapkan takbiratul ihram dan tidak mengucapkan apa pun sebelumnya, juga tidak melafadzkan niat sama sekali.

📞 Beliau juga tidak mengatakan, ‘Aku tunaikan untuk Allah Subhanahuwata'ala shalat ini dengan menghadap kiblat empat rakaat sebagai imam atau makmum’.

👉 Demikian pula ucapan ada’an atau qadha’an ataupun fardhal waqti.

🔥 Melafadzkan niat ini termasuk perbuatan yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Tidak ada seorang pun yang menukilkan hal tersebut dari Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam, baik dengan sanad yang shahih, dhaif, musnad (bersambung sanadnya), ataupun mursal (tidak bersambung). Bahkan tidak ada nukilan dari para sahabat, demikian pula tabi’in maupun imam yang empat, tak seorang pun dari mereka yang menganggap baik hal ini.

💢 Hanya saja sebagian mutaakhirin (orang-orang belakangan) keliru memahami ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah –semoga Allah Subhanahuwata'ala meridhainya– tentang shalat. Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Shalat itu tidak seperti zakat. Tidak boleh seorang pun memasuki shalat ini kecuali dengan zikir.”

🔓 Mereka menyangka bahwa zikir yang dimaksud adalah ucapan niat seseorang yang hendak shalat. Padahal yang dimaksudkan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dengan zikir ini tidak lain adalah takbiratul ihram.

❓Bagaimana mungkin Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah menyukai perkara yang tidak dilakukan Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dalam satu shalat pun, begitu pula para khalifah beliau dan para sahabat yang lain? Inilah petunjuk dan jalan hidup mereka. Kalau ada seseorang yang bisa menunjukkan kepada kita satu huruf saja dari mereka tentang perkara ini, maka kita akan menerimanya dan menyambutnya dengan penuh ketundukan dan penerimaan.

❌ Karena, tidak ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk mereka dan tidak ada sunnah kecuali yang diambil dari sang pembawa syariat Shalallahu'alaihi wa sallam. (Zaadul Ma’ad, 1/201)

🔹Insya Allah Bersambung🔹

📬 Sumber :

http://asysyariah.com/sifat-shalat-nabi-bagian-1/

____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~Bagian 2⃣~

======================

🌀🔑🙌 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🔑 (2) Takbiratul ihram

🔳 Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan mengucapkan:

Allahu Akbar, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahuanha berikut ini:

كَانَ رَسُولُ اللهِ n يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا، وَكَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ السَّجْدَةِ لَمْ يَسْجُدْ حَتَّى يَسْتَوِيَ جَالِسًا. وَكاَنَ يَقُولُ فِي كُلِّ رَكْعَتَيْنِ التَّحِيَّةَ، وَكَانَ يَفرِشُ رِجْلَهُ اليُسْرَى وَيَنْصِبُ رِجْلَهُ الْيُمْنَى، وَكاَنَ يَنهَى عَن عُقْبَةِ الشَّيطَانِ وَيَنْهَى أَنْ يَفْتَرِشَ الرَّجُلُ ذِرَاعَيهِ افْتِرَاشَ السَّبُعِ وَكَانَ يَخْتِمُ الصَّلاَةَ بِالتَّسْلِيمِ

“Adalah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin. Apabila ruku’, beliau tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukkannya, akan tetapi di antara keduanya. Apabila bangkit dari ruku’, beliau tidak sujud sampai beliau berdiri lurus. Dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud, beliau tidak sujud kembali hingga beliau tegak duduknya. Pada setiap dua rakaat beliau membaca tahiyat. Beliau membentangkan kakinya yang kiri dan menegakkan (telapak) kakinya yang kanan. Beliau melarang duduk seperti duduknya setan, dan melarang seseorang membentangkan kedua lengan bawahnya seperti binatang buas membentangkannya (yakni meletakkan lengan di lantai ketika sujud). Dan beliau menutup shalat dengan salam.”

(HR. Muslim no. 1110)

📚 Hadits ini memiliki jalan lain, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Yusuf bin Ya’qub, ia berkata:

Abu Ar-Rabi’ telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Budail telah menceritakan kepada kami, dari Abdullah ibnu Syaqiq, dari Aisyah radhiyallahuanha:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يَفْتَتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيْرِ وَالْقِرَاءَةِ بِـ(الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ)

“Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam membuka shalat beliau dengan takbir dan membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”

💾 Hadits lain yang menunjukkan amalan ini adalah hadits Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahuanhu, ia berkata:

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n إِذَا قَامَ إِلَى الصّلَاةِ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللهُ أَكْبَرُ

“Bila Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bangkit untuk mengerjakan shalat, beliau menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya dan berkata: ‘Allahu Akbar’.”

(HR. Ibnu Majah no. 803 dan dishahihkan dalam Shahih Sunan Ibnu Majah)

🚨 Takbiratul ihram ini merupakan salah satu rukun shalat menurut pendapat jumhur (1).

✏ Adapun Hanafiyyah berpandangan takbir ini merupakan syarat, demikian pula satu sisi dari pendapat Syafi’iyyah. Sementara Az-Zuhri bersendirian dalam memandang sunnahnya, sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Ibnul Mundzir.
(Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama 2/7, Fathul Bari 2/282)

🌕 Namun yang rajih adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana telah disebutkan sebagian nashnya. Dengan demikian, tidak sah shalat bila takbir ini sampai terluputkan/ditinggalkan. Karena itulah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam memerintahkan kepada seseorang yang salah shalatnya untuk melakukan takbir ini.

📒 Hadits yang kami maksudkan adalah hadits yang masyhur dengan sebutan hadits al-musi’ shalatuhu, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahuanhu, disebutkan bahwa ada seseorang yang bernama Khallad ibnu Rafi’ radhiyallahuanhu, masuk masjid untuk mengerjakan shalat, sementara Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam berada di salah satu sudut masjid.

⏩ Seselesainya dari sholat, Khallad ini mendatangi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam seraya mengucapkan salam. Beliau pun menjawab salamnya lalu bersabda kepadanya:

ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. فَرَجَعَ الرَّجُلُ فَصَلَّى كَمَا كَانَ صَلَّى، ثُمَّ جاَءَ إِلَى النَّبِيِّ n فَسَلَّمَ عَلَيهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: وَعَلَيكَ السَّلاَمُ؛ ثُمَّ قَالَ: ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ. حَتَّى فَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. فَقَالَ الرَّجُلُ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، مَا أُحْسِنُ غَيرَ هَذَا، عَلِّمْنِي. قَالَ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا

“Kembalilah lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.”

👣Orang itu pun kembali lalu mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya yang sebelumnya. Setelahnya ia datang kepada Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam lalu mengucapkan salam, maka beliau menjawab, “Wa ‘alaikas salam.” Kemudian beliau melanjutkan, “Kembalilah lalu shalatlah, karena sesungguhnya engkau belum shalat.”

🔦 Demikian Rasulullah memerintahkan sampai orang itu mengulangi shalatnya sebanyak tiga kali. Pada akhirnya orang itu berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu dengan al-haq, aku tidak bisa mengerjakan shalat lebih bagus daripada apa yang telah kukerjakan. Kalau begitu ajari aku (bagaimana shalat yang benar).”

⌛ Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam kemudian memberi bimbingan, “Bila engkau hendak berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah. Setelahnya, bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Qur’an. Kemudian ruku’lah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan ruku’. Lalu angkat kepalamu hingga engkau berdiri lurus.

🍃 Setelahnya sujudlah hingga engkau thuma’ninah dalam keadaan sujud. Setelah itu angkatlah kepalamu hingga engkau lurus dan thuma’ninah dalam keadaan duduk. Kemudian lakukanlah apa yang telah disebutkan tadi dalam shalatmu seluruhnya.”

(HR. Al-Bukhari no. 757 dan Muslim no. 883)

⚠Perhatian ⚠

✋ Semua amalan shalat yang disebutkan dalam hadits al-musi’ shalatuhu (hadits di atas) ini merupakan rukun, tidak sah shalat tanpanya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19)

☑ Faedah

☝Bagi makmum yang shalat di belakang imam dan orang yang shalat sendiri (munfarid) hendaklah memerhatikan bahwa takbir ini diucapkan dengan lisan, dengan menggerakkannya, sehingga tidak cukup bila hanya diucapkan dalam hati.

🔇Namun, bilamana seseorang itu bisu, tidak bisa berbicara, maka ia meniatkan takbir dalam hatinya tanpa perlu menggerakkan bibir dan lisannya, karena hal itu perbuatan sia-sia dan melakukan gerakan tanpa hajat. Toh dengan kebisuannya, suaranya tidak akan keluar.

🙌Ketika bertakbir ini tidak diharuskan seseorang mengeluarkan suara yang dapat didengar oleh kedua telinganya (2), walaupun dalam masalah ini ada khilaf. Namun yang rajih adalah sebagaimana yang kami sebutkan. Karena mengharuskan suara takbir itu terdengar oleh telinga pengucapnya merupakan amrun zaid (perkara yang lebih) dari ucapan dan lafadz. Sementara, apa yang lebih dari keterangan As-Sunnah harus ada dalilnya. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/19-21)

⛵ Dengan diucapkannya takbiratul ihram berarti haram seseorang melakukan pekerjaan selain amalan shalat, berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam :

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيْرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Kunci shalat adalah bersuci/wudhu, pengharamannya adalah takbir dan penghalalannya adalah salam.”

(HR. Abu Dawud no. 61, 618, At-Tirmidzi no. 3, 238 dan selainnya. Kata Al-Imam Al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Abu Dawud: “Hasan shahih.”)

👉Dalam hadits ini ada dalil bahwa shalat hanya bisa dibuka dengan takbir Allahu akbar, tidak sah dengan zikir-zikir yang lain. Hal ini merupakan pendapat jumhur. Adapun pendapat Abu Hanifah “Shalat bisa dibuka dengan setiap lafadz yang menunjukkan pengagungan (kepada Allah Subhanahuwata'ala),” adalah pendapat yang marjuh (lemah).

(Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/7, Nailul Authar 2/6)

🔹 bersambung insyaallah 🔹

___________________________

👣Catatan kaki

(1) Rukun adalah suatu amalan yang bila ditinggalkan sengaja ataupun tidak maka ibadah itu tidak sah. Untuk ibadah shalat, amalan itu tidak bisa diganti dengan sekadar sujud sahwi tapi harus ditunaikan sesuai aturan yang ada.

(2) Suara tersebut tidak terdengar bisa jadi karena ada suara-suara bising di sekitar tempat tersebut, atau karena lemahnya pendengaran, atau alasan lainnya.

📬 Sumber :

http://asysyariah.com/sifat-shalat-nabi-bagian-1/

____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: Bagian 3⃣

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🔊 🔊Mengeraskan suara ketika bertakbir

📣 Ketika bertakbir, Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam mengeraskan suaranya hingga dapat didengar oleh orang di belakang beliau, sebagaimana ditunjukkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim (1/223), Ahmad (3/18), dan lainnya, dari Fulaih ibnu Sulaiman, dari Sa’id ibnul Harits, ia berkata,

🔻 “Suatu ketika Abu Hurairah radhiyallahuanhu yang biasa mengimami orang-orang jatuh sakit atau sedang pergi, maka Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahuanhu pun menggantikan posisi imam. Beliau mengeraskan 🔊 suara ketika bertakbiratul ihram, demikian pula ketika 🔊 hendak ruku’, ketika mengatakan 🔊 sami’allahu liman hamidah, ketika 🔊 mengangkat kepalanya dari sujud,🔊 ketika hendak sujud, ketika mengangkat kepala dan ketika 🔊 bangkit dari dua rakaat, sampai akhirnya beliau menyelesaikan shalat.

❗Ternyata ada yang menyampaikan kepada beliau bahwa orang-orang berselisih dalam perkara shalat beliau tadi. Abu Sa’id pun naik mimbar dan berkata, “Wahai manusia! Demi Allah, aku tidak peduli apakah shalat kalian berbeda ataupun tidak dengan shalatku. Yang penting demikianlah aku dulunya melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam shalat.”

(Al-Hakim menshahihkannya menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim, serta disepakati oleh Adz-Dzahabi rahimahullah)

✒ Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata:

🔻“Hadits ini menunjukkan disenangi bagi imam untuk mengeraskan suaranya saat bertakbir agar makmum tahu perpindahan gerakan imam. Bila si imam suaranya lemah (tidak bisa keras) karena sakit atau alasan lainnya, maka sunnah bagi muadzdzin atau selainnya dari kalangan makmum untuk menjahrkan/mengeraskannya dalam kadar yang dapat didengar oleh manusia.

⌛Sebagaimana hal ini pernah dilakukan Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu saat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam mengimami manusia dalam keadaan suara beliau lemah karena sakit (3)…

📡 Adapun menyampaikan takbir imam yang dilakukan makmum tanpa ada kebutuhan, sebagaimana biasa dilakukan oleh kebanyakan orang di zaman kita ini dalam bulan Ramadhan, sampaipun di masjid yang kecil, tidaklah disyariatkan menurut kesepakatan ulama, sebagaimana dihikayatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Al-Fatawa (1/69-70 dan 107).

↔ Dulunya, Bilal radhiyallahuanhu ataupun selainnya tidak pernah meneruskan takbir Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam
 kepada para makmum di belakang beliau.

🌾 Begitu pula di masa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, tidak ada yang menyampaikan takbir mereka di belakang mereka. Karena itulah mayoritas ulama terang-terangan menyatakannya makruh.

❗Bahkan ada yang mengatakan 🔥💫 batal shalat pelakunya tersebut. Ini ada dalam madzhab Malik, Ahmad, dan selain keduanya…

✒ Syaikhul Islam rahimahullah berkata:

‘Tidaklah diragukan bahwa tabligh (menyampaikan takbir imam kepada makmum) tanpa ada kebutuhan merupakan ⚠ bid’ah. Siapa yang meyakininya sebagai amalan qurbah secara mutlak maka tidak diragukan dia adalah imam yang 💥 jahil, atau memang ia seorang yang menentang dan bersengaja dengan penyelisihannya. Karena permasalahan ini telah dinyatakan oleh para ulama dari berbagai madzhab dalam kitab-kitab mereka, sampaipun dalam kitab-kitab yang ringkas.

🔊 Mereka semua menyatakan, ‘Tidak boleh ada satu pun takbir yang dikeraskan di dalam shalat, terkecuali bila ia seorang imam. Siapa yang terus-menerus meyakini perbuatan seperti ini merupakan qurbah maka ia diberi hukuman karena menyelisihi ijma’.’ Wallahu a’lam.”

(Al-Ashl, 1/187-188)

🔹 bersambung insyaallah 🔹
___________________________

👣Catatan kaki

(3) Dalam hadits Jabir radhiyallahuanhu, ia menyebutkan, “Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam dalam keadaan sakit saat kami shalat di belakang beliau, dan beliau shalat dalam keadaan duduk. Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu pun memperdengarkan kepada manusia takbir beliau. Beliau lalu menoleh kepada kami, ternyata beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri, maka beliau memberi isyarat kepada kami agar kami duduk. Kami pun duduk dan kami shalat diimami oleh beliau dalam keadaan duduk. Tatkala beliau mengucapkan salam pertanda selesainya shalat, beliau Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

إِنْ كِدْتُمْ آنِفًا لَتَفْعَلُونَ فِعْلَ فَارِسَ وَالرُّومِ، يَقُومُونَ عَلَى مُلُوكِهِمْ وَهُم قُعُودٌ، فَلاَ تَفْعَلُوا، ائتَمُّوا بِأَئِمَّتِكُمْ، إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَصَلُّوا قِيَامًا، وَإِنْ صَلَّى قَاعِدًا فَصَلُّوا قُعُودًا

“Kalian tadi hampir-hampir berbuat seperti perbuatannya orang-orang Persia dan Romawi. Mereka berdiri di hadapan raja-raja mereka sementara raja-raja ini duduk. Maka janganlah kalian lakukan. Contohlah imam kalian, jika ia shalat dalam keadaan berdiri maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri. Namun bila ia shalat dalam keadaan duduk maka shalatlah dengan duduk.”

(HR. Muslim no. 927)

📬 Sumber :

http://asysyariah.com/sifat-shalat-nabi-bagian-1/
____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: Bagian 4⃣

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________
.......................
🔰🔉Takbir dalam Setiap Gerakan
__________

🌿 Hadits Abu Sa’id Al-Khudri di atas juga menunjukkan disyariatkannya takbir dalam;
(1) Setiap gerakan turun dan
(2) Bangkit dalam shalat.
Ini merupakan pendapat keumuman fuqaha dan para ulama.

🍁 Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (1/160) menyatakan bahwa
✏_________________
"Bertakbir ketika ruku’ dan sujud diamalkan oleh para shahabat Nabi, di antaranya Abu Bakr, Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan selain mereka, serta orang-orang setelah mereka dari kalangan tabi’in rahimahumullah."
Dan inilah yang dipegangi oleh keumuman fuqaha dan ulama.
_________________||


🚏🍃 Pendapat ini dikuatkan pula dengan hadits yang lainnya, di antaranya:
📚✒• • • • • • • • • • • • • • • •
📖 Hadits Imran bin Hushain yang menyebutkan bahwa ia pernah shalat bersama Ali bin Abi Thalib di Bashrah, ia berkata, “Orang ini mengingatkan kami dengan shalat yang dulunya kami kerjakan bersama Rasulullah.”

🍂 Imran menyebutkan bahwa dalam shalatnya itu, Ali bertakbir setiap kalian mengangkat tubuhnya (naik) dan setiap kali meletakkannya (turun). (HR. Al-Bukhari no. 784 dan selainnya)
• • • • • • • • • • • • • • • • • • •∆||


🔰🌿🌷 Faedah:
__________________
🔺Ulama berbeda pendapat tentang hukum takbir selain takbiratul ihram.
{( 1 )} Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Jumhur berpendapat sunnah.
{( 2 )} Sedang Al-Imam Ahmad dan sebagian ahlu zhahir menyatakan wajibnya seluruh takbir.” (Fathul Bari, 2/349)

📶 Hujjah mereka yang menghukumi wajib adalah sabda Rasulullah:

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)

🌺 Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fathul Bari berkata:
______. . . . . . . . . . .______
“Inilah pendapat yang lebih zhahir dari sisi dalil. Karena Rasulullah menjaga amalan ini (terus melakukannya) serta memerintahkan umatnya untuk mengerjakannya, sementara asal perintah adalah wajib. Sungguh Rasulullah telah bersabda: ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.’

Adapun riwayat dari Utsman dan Mu’awiyah, yang menyebutkan bahwa keduanya tidak menyempurnakan takbir maka dibawa kepada pemahaman bahwa keduanya tidak mengeraskan takbir, bukan keduanya meninggalkan takbir. Riwayat tersebut harus dipahami seperti ini, dalam rangka berbaik sangka kepada keduanya. Kalaupun mau diterima keduanya meninggalkan takbir, maka hujjah lebih dikedepankan daripada pendapat keduanya. Semoga Allah merahmati keduanya dan seluruh sahabat. Wallahu a’lam.”
______. . . . . . . . . . .______

.........................................................................
🔹Insya Allah Bersambung🔹
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📬 Sumber :
(http://asysyariah.com/sifat-shalat-nabi-bagian-1/)

____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: Bagian 5⃣

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________
.........................
🚫🔉 " Tidak Mendahului Imam dalam Bertakbir "
_______ _________ _________ _______
🌿 Bila seseorang shalat di belakang imam, janganlah mendahului imam dalam bertakbir karena Rasulullah melarang makmum mendahului imamnya.
Seperti dalam hadits Abu Hurairah:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلاَ تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ… الحديث

🌷 “Hanyalah imam itu dijadikan untuk diikuti. Maka bila ia bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan kalian bertakbir hingga ia bertakbir. Bila ia ruku’ maka ruku’lah kalian dan jangan kalian ruku’ sampai ia ruku’ …” (📚 HR. Abu Dawud no. 603, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)



📶🔉 " Mengangkat Tangan "
_______ _________ _________ _______
🌿 Mengangkat kedua tangan ketika memulai shalat merupakan perkara yang disyariatkan, bahkan perkara yang disepakati (ijma’). (📚 Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296)
📝 Telah dinukilkan pernyataan ijma’ ini oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnus Subki. (📚Al-Isyraf ‘ala Madzahibil ‘Ulama’ 2/6, Nailul Authar 2/11)

📝 Akan tetapi, telah dinukilkan dari Al-Imam Malik riwayat:
"Tidak mengangkat tangan sama sekali."
{(❔)} Namun demikian, dikatakan oleh Al- Imam Zainuddin Abul Fadhl Al-‘Iraqi dalam Tharhut Tatsrib (2/446) bahwa riwayat ini syadz (ganjil).

📝 Demikian pula Al-Imam Ibnu Rajab menafikannya dan menyatakan bahwa periwayatan tersebut nampaknya tidak benar dari Malik karena hadits mengangkat tangan adalah hadits yang disepakati keshahihannya dan tidak didapati celaan seorang pun terhadap perawinya. (📚 Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296)

🔰🔄 Namun demikian para ulama berselisih, apakah hukumnya wajib atau mustahab.

||‹‹››|| Sebagian besar ahlul ilmi, yakni jumhur dan termasuk dalam hal ini imam yang empat, mengatakan hukumnya sunnah (📚 Subulus Salam 2/169).
🔰Dalilnya, Nabi tidak mengajarkan perkara tersebut sebagaimana dalam hadits al-musi’i shalatahu di atas. Beliau hanya mengajarkan takbir saja. Seandainya mengangkat tangan itu seperti hukum takbir yang diajarkan oleh Nabi, tentunya beliau akan mengajarkan pada orang tersebut (📚 Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/297).
📌 Pendapat inilah yang rajih, wallahu a’lam.
✏__Kata Al-Imam Al-Qadhi ‘Iyadh, mengangkat tangan dalam shalat tidaklah wajib. Tidak ada ulama yang berpendapat demikian kecuali Dawud Azh-Zhahiri. Ia mengatakan wajib mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Namun sebagian pengikut madzhab/murid-muridnya menyelisihi pendapatnya ini. Mereka tidak mewajibkannya. (📚 Ikmalul Mu’lim 2/261-262)

||‹‹››|| Yang berpendapat wajib di antaranya adalah
🔺Al-Humaidi,
🔺Dawud Azh-Zhahiri,
🔺Ahmad bin Yasar,
🔺'Ali ibnul Madini,
🔺Ishaq,
🔺Ibnu Abi Syaibah,
🔺Ibnu Khuzaimah, dan
🔺Al-Auza’i.
(📚 Fathul Bari, Ibnu Rajab 4/296-297, Nailul Authar 2/11)

__________
✒__Ibnu Hazm mengatakan, “Mengangkat tangan ketika takbiratul ihram pada awal shalat adalah perkara fardhu. Shalat tidak teranggap (sah) tanpa perkara ini.” (📚 Al-Muhalla 2/264)
🔰Dalil mereka di antaranya adalah hadits:

صَلُّوا كَمَا رَأَيتُمُنِي أُصَلِي

🌷 “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (📚 HR. Al-Bukhari no. 628, 7246 dan Muslim no. 1533)
___________
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
🔺Bersambung insyaAllah🔺
➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📬 Sumber:
(http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi/)

____________
📚 WA TIC
(Tholibul Ilmi Cikarang)
_______________________
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 6⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🌾Keadaan tangan ketika bertakbir🍃

📄 Rasulullah terkadang mengangkat tangan beliau bersamaan dengan takbir, di waktu lain sebelum takbir dan pernah pula setelah bertakbir. Dalilnya di antaranya hadits-hadits berikut ini:

– Bersamaan dengan takbir🍂

Abdullah ibnu ‘Umar berkata:

رَأَيتُ النَّبِيَّ افْتَتَحَ التَّكبِيرَ فِي الصَّلاَةِ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ يُكَبِّرُ حَتَّى يَجْعَلَهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيهِ …

“Aku pernah melihat Nabi membuka shalat dengan bertakbir, lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir, hingga beliau menjadikan kedua tangannya setentang (sejajar) dengan kedua pundaknya….” (HR. Al-Bukhari no. 736)

🍂 Mengangkat tangan bersamaan dengan bertakbir ini merupakan pendapat dalam madzhab Hanafiyah, juga pendapat Asy-Syafi’i dan pendapat Malikiyah.

– Sebelum takbir 🍃

Ditunjukkan dalam hadits Abdullah ibnu ‘Umar juga, ia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى تَكُوْنَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ ثُمَّ كَبَّرَ…

“Adalah Rasulullah bila bangkit mengerjakan shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga keduanya setentang (sejajar) dengan kedua pundaknya, kemudian beliau bertakbir….” (HR. Muslim no. 860 dan Al-Bukhari dalam kitabnya Juz Raf’il Yadain)

– Setelah takbir 🌾

Sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Malik ibnul Huwairits :

أَنَّ رَسُولَ الله كاَنَ إِذَا كَبَّرَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا أُذُنَيْهِ…

“Rasulullah bila selesai bertakbir, beliau mengangkat kedua tangannya hingga kedua tangannya sejajar dengan kedua telinga beliau….” (HR. Muslim no. 863 dan Al-Bukhari dalam Juz Raf’il Yadain)

📣 Abu Qilabah mengabarkan:

أَنّهُ رَأَى مَالِكَ ابْنَ الْحُوَيرِثِ إِذَا صَلَّى كَبَّرَ وَرَفَعَ يَدَيهِ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ رَفَعَ يَدَيْهِ، وَحَدَّثَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَنَعَ هَكَذَا

Ia pernah melihat Malik ibnul Huwairits apabila shalat maka ia bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Bila ia ingin ruku’, ia mengangkat kedua tangannya. Demikian pula ketika mengangkat kepalanya dari ruku’, ia mengangkat kedua tangannya dan ia menyampaikan bahwa Rasulullah melakukan hal tersebut. (HR. Muslim no. 862 dan Al-Bukhari no. 737)

📢 Al-Imam Al-Albani menerangkan,

“…Masing-masing cara yang telah disebutkan merupakan sunnah yang tsabitah (pasti ketetapannya) dari Rasulullah. Sehingga semestinya seorang muslim mengamalkannya dalam shalatnya. Jangan sampai ia tinggalkan salah satu dari tiga cara ini. Yang sepantasnya, di satu waktu ia melakukan yang ini, di kali lain cara yang itu, dan di waktu selanjutnya ia amalkan cara yang satunya lagi.” (Al-Ashl 1/198-199)


🔺Bersambung insyaAllah🔺
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📬 Sumber:
(http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi/)

Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang
___________________________
Pada , Sabtu 21 Dzulqo'dah 1436H/05 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 7⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________
. . . . . . . . . . . . . .
📣🚩Tata cara mengangkat tangan
___ _______ _______ _______ _______ ___

🔉 Ketika Rasulullah mengangkat tangannya, beliau membentangkan/meluruskan jari-jemarinya. Satu jari dengan jari yang lain tidak terlalu direnggangkan, namun tidak pula dirapatkan/digabungkan satu dengan yang lainnya, dan diarahkan ke kiblat;
(📚 Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61)

📎 Ini sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu Hurairah:

كاَنَ رَسُولُ اللهِ n إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

🌷 “Adalah Rasulullah bila masuk dalam shalatnya (memulai shalatnya dengan takbiratul ihram), beliau mengangkat tangannya dengan membentangkan jari-jarinya.”
(📚 HR. Abu Dawud no. 753 dan selainnya, dishahihkan oleh guru kami Al-Imam Al-Wadi’i t dalam Al-Jami’ush Shahih 2/95)

_______ . . . . . . . . .
🔰🍂 Rasulullah bersungguh-sungguh dalam mengangkat kedua tangan beliau, sampai-sampai terlihat kedua ketiak beliau. Sebagaimana kata Abu Hurairah, “Seandainya aku berada di hadapan Nabi niscaya aku dapat melihat kedua ketiak beliau.”
(📚 HR. Abu Dawud no. 746, shahih menurut syarat Muslim, seperti kata guru kami Al-Imam Al-Wadi’i t dalam Al-Jami’ush Shahih 2/96)
_______ . . . . . . . . .


🌿 Dalam hadits yang telah dibawakan, disebutkan bahwa;
• || Rasulullah mengangkat tangannya hingga setentang (sejajar) dengan kedua pundak beliau, dan
• || Di waktu lain beliau mengangkat keduanya hingga sejajar dengan kedua telinga beliau.

✔✔✔ ¨ ¨ ¨ ¨
{(📌)} Karena dua tata cara ini ada dalilnya, maka keduanya merupakan sunnah dan dua-duanya bisa diamalkan.

🔰🍂🍁 • • • • • • • • • • •
Al-Imam Abul Hasan As-Sindi berkata, “Tidaklah saling bertentangan di antara amalan-amalan/tata cara yang berbeda-beda. Karena boleh jadi semua tata cara tersebut terjadi di waktu-waktu yang berbeda. Sehingga, semuanya merupakan sunnah, terkecuali ada dalil yang menunjukkan mansukh (terhapus)nya sebagian tata cara tersebut…”
(📚 Hasyiyah Sunan An-Nasa’i lis Sindi 2/122)
🔰🍂🍁 • • • • • • • • • • •


🌾Faedah:
¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯¯
{(⚪)} Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Al-Faqih Ibnu Utsaimin mengatakan;
“Ulama –semoga Allah merahmati mereka– berbeda pendapat tentang sejumlah ibadah yang disebutkan dengan cara yang beragam.
[ 1 ] Apakah yang afdhal mencukupkan satu cara saja?

[ 2 ] Ataukah yang afdhal melakukan semuanya pada waktu-waktu yang berbeda?

[ 3 ] Ataukah yang afdhal menjamak (mengumpulkan) apa yang mungkin dijamak?

•= = = = = = = 🔰🌷🔰 = = = = = = =•
Yang benar dalam hal ini adalah
pendapat kedua yang pertengahan,
yaitu ibadah yang datang dengan
cara yang beragam sekali waktu
diamalkan satu cara dan di kali lain
dilakukan cara yang satunya lagi.”
•= = = = = = = 🔰🌷🔰 = = = = = = =•

{(⚪)} Beliau melanjutkan,
“Kalau engkau hanya mengamalkan satu cara dan meninggalkan cara lain, niscaya akan mati cara yang lain. Karena suatu sunnah tidak mungkin tetap hidup terkecuali bila kita sekali waktu mengamalkannya, di kali lain mengamalkan yang lain lagi.

🔬 Alasan lain, bila seseorang di satu waktu mengamalkan satu cara, di kali lain ia melakukan cara yang lain lagi, niscaya hatinya akan hadir ketika menunaikan amalan yang diajarkan oleh As-Sunnah1. Perkara ini nyata, dapat disaksikan. Karena itulah orang yang setiap kali istiftah mengucapkan:
“Subhanaka allahumma wa bihamdika…. “, engkau dapati dirinya dari awal ia bertakbir langsung lanjut dengan “Subhanaka allahumma wa bihamdika…” tanpa ia sadari. Karena ia sudah terbiasa dengan bacaan tersebut. Akan tetapi bila suatu waktu ia mengucapkan bacaan ini dan di kali lain ia mengucapkan doa yang lain, niscaya ia akan (lebih) perhatian.

📂 Ada beberapa faedah mengamalkan ibadah yang memiliki tata cara beragam:
[ 1 ] Mengikuti sunnah
[ 2 ] Menghidupkan sunnah
[ 3 ] Menghadirkan hati (dalam melakukan ibadah)
Bisa juga kita dapati faedah yang keempat:
+ [ 4 ] Bila salah satu cara dari beberapa cara itu ada yang lebih pendek/ringkas dari yang lain, seperti zikir setelah shalat, maka seseorang terkadang ingin mempercepat selesai dari zikir tersebut, sehingga ia mencukupkan dengan mengucapkan Subhanallah 10 kali, Alhamdulillah 10 kali, dan Allahu akbar 10 kali. Maka orang ini melakukan amalan yang menepati As-Sunnah dengan waktu yang lebih singkat, karena ingin menunaikan hajatnya. Dan tidak ada keberatan/dosa bagi seseorang melakukan hal itu, apatah lagi bila ada hajatnya yang ingin ditunaikan….”
(📚 Asy-Syarhul Mumti’ 3/19-20)
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
📝📋🔰 Catatan kaki

1 Ia akan perhatian dengan amalan/gerakan yang sedang dilakukannya. Beda halnya bila ia terbiasa terus-menerus hanya melakukan satu cara, niscaya gerakannya ibarat gerakan yang spontan, tanpa harus dipikir terlebih dahulu. Karena sudah terbiasa dilakukan, sehingga hatinya tidak ia hadirkan. Shalatnya bergulir begitu saja tanpa ia pikirkan apa saja yang telah dilakukan dan diucapkannya dalam shalat tersebut. Wallahu a’lam. -pen.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
🔺Bersambung insyaAllah🔺
➖➖➖➖➖➖➖➖➖
📬 Sumber:
(http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi/)

Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang
___________________________
Pada , Ahad 22 Dzulqo'dah 1436H/06 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 8⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________


❗Perhatian

Sebagian orang mengangkat kedua tangannya tanpa melewati dadanya, seakan-akan ia memberi isyarat dengan kedua tangannya. Yang seperti ini lebih mirip dengan perbuatan sia-sia/bermain-main dalam shalat. Ini sama sekali bukan termasuk dari ajaran As-Sunnah. (Fathu Dzil Jalali wal Ikram 3/61)

✒ Faedah
Al-Hafizh mengatakan, “Tidak ada dalil yang menunjukkan perbedaan lelaki dan perempuan dalam hal mengangkat tangan.” (Fathul Bari 2/287)
Adapun Hanafiyah berpandangan, lelaki mengangkat tangannya sampai kedua telinganya sedangkan perempuan sampai dua pundaknya, karena ini lebih menutup (cukup) baginya. Dan dinukilkan dari Ummud Darda’ bahwa beliau mengangkat kedua tangannya sejajar dua bahunya. Demikian pula pendapat Az-Zuhri. Sementara ‘Atha’ bin Abi Rabah dan Hammad bin Abi Sulaiman berpendapat wanita mengangkat kedua tangannya sejajar payudaranya, dan ini yang diamalkan Hafshah bintu Sirin rahimahallah. ‘Atha’ bin Abi Rabah mengatakan bahwa wanita memiliki keadaan yang berbeda dengan laki-laki. Kalaupun dia tidak melakukan yang demikian, maka tidak mengapa. (Tharhut Tatsrib 2/450)

📄 Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz ibnu Abdillah ibnu Baz berkata, “Yang benar, tidak ada perbedaan antara shalat laki-laki dan shalat perempuan. Perbedaan yang disebutkan oleh sebagian fuqaha tersebut tidak ada dalilnya. Sementara ucapan Nabi :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
merupakan pokok yang mencakup keseluruhan shalat. Juga, pensyariatan agama ini mencakup laki-laki maupun perempuan, kecuali bila ada dalil yang memang mengkhususkannya.
Karena itu, sunnah bagi wanita untuk shalat sebagaimana laki-laki shalat, baik dalam ruku’, sujud, bacaan, meletakkan kedua tangan di atas dada, ataupun yang lainnya. Ini lebih utama. Demikian pula dalam hal meletakkan tangan di atas lutut ketika ruku’, meletakkan tangan di atas tanah ketika sujud sejajar pundak atau sejajar telinga, meluruskan punggung ketika ruku’, apa yang dibaca ketika ruku’, sujud, setelah bangkit dari ruku’, setelah bangkit dari sujud, ataupun di antara dua sujud. Semuanya sama dengan laki-laki, sebagai pengamalan sabda Rasulullah :

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya. (Majmu’ Fatawa 11/80)

(Insya Allah bersambung)


📖 Sumber http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi/

Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang
________________________________
Pada, Senin 23 Dzulqo'dah 1436H/07 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 9⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________
 . . . . . .

🍃🍃 Bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri

📚 Termasuk petunjuk Nabi dalam masalah shalat adalah setelah mengangkat tangan dalam takbiratul ihram, tangan kanan diletakkan di atas tangan kiri saat bersedekap. Beliau bersabda:

إِناَّ –مَعْشَرَ الْأَنبِيَاءِ– أُمِرْناَ بِتَعْجِيلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيرِ سَحُورِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِي الصَّلاَةِ

“Kami, segenap para nabi, diperintahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, dan kami diperintah untuk meletakkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami di dalam shalat.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 11485, dan selainnya dari hadits Ibnu Abbas , dishahihkan dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi , 1/206)

📡Jabir mengabarkan, di saat Rasulullah melewati seorang lelaki yang sedang shalat dengan meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, beliau pun melepaskan tangan tersebut lalu membetulkannya dengan meletakkan tangan kanan orang tersebut di atas tangan kirinya. (HR. Ahmad 3/381. Al-Haitsami berkata, “Rijalnya rijal Ash-Shahih.” Majma’ Az-Zawaid 2/105)

🔊 Ibnu Mas’ud berkata, “Nabi melihatku meletakkan tangan kiri di atas tangan kananku di dalam shalat. Beliau pun mengambil tangan kananku lalu diletakkannya di atas tangan kiriku.” (HR. Abu Dawud no. 755, dihasankan dalam Shahih Abi Dawud dan Fathul Bari, 2/291)

📜 Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menyebutkan Bab Wadh’il yumna ‘alal yusra (peletakan tangan kanan di atas tangan kiri) dan membawakan riwayat Sahl ibnu Sa’d yang mengabarkan:

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِي الصَّلاَةِ

“Adalah orang-orang diperintah agar seseorang meletakkan tangan kanannya di atas lengan kiri bagian bawah (lengan bawah/hasta) di dalam shalat.”

📢 Abu Hazim, perawi yang meriwayatkan dari Sahl mengatakan, “Aku tidak mengetahui dari Sahl kecuali dia menyandarkannya kepada Nabi .” (HR. Al-Bukhari no. 740)

📑 Faedah ✒

Para ulama menjelaskan, di antara hikmah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hal ini merupakan tata cara seorang peminta yang hina (meminta dengan menghinakan diri di hadapan Allah). Cara seperti ini paling menahan/menghalangi dari berbuat main-main dalam shalat dan lebih dekat pada kekhusyukan.” (Fathul Bari, 2/291)

🌺Cara peletakannya🌺

Tangan kanan tadi diletakkan di atas tangan kiri dengan:

➡– al-wadha’:
diletakkan saja di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hasta/lengannya (antara siku dan telapak tangan).

📚 Dalilnya adalah hadits Wa’il ibnu Hujr, ia berkata, “Sungguh-sungguh aku akan melihat kepada shalatnya Rasulullah untuk mengetahui secara tepat bagaimana shalat beliau. Aku pun mengamati beliau. Beliau berdiri, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga berhadapan dengan bagian atas kedua telinga beliau. Kemudian beliau meletakkan tangan kanannya di atas punggung telapak tangan kiri, pergelangan, dan hastanya….” (HR. Abu Dawud no. 727, An-Nasa’i no. 889, dishahihkan dalam Al-Irwa’ 2/68-69)

Atau bisa pula dengan cara:

➡– al-qabdh: tangan kanan menggenggam tangan kiri.

Cara ini disebutkan dalam sebagian riwayat hadits Wail ibnu Hujr seperti dalam riwayat An-Nasa’i (no. 887). Wail berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ الله قَائِمٌ فِي الصَّلاَةِ، قَبَضَ بِيَمِيْنِهِ عَلَى شِمَالِهِ

“Aku melihat Rasulullah bila berdiri dalam shalat, beliau menggenggamkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.” (Sanadnya shahihsebagaimana dalam Shahih Sunan An-Nasa’i)

🔊 Al-Imam Al-Albani berkata, “Tidaklah samar bahwa antara qabdh dengan wadha’ ada perbedaan yang jelas. Karena qabath lebih khusus daripada sekadar meletakkan (wadha’). Setiap orang yang menggenggam berarti ia meletakkan dan tidak sebaliknya.” Beliau mengatakan, “Sebagaimana hadits tentang wadha’shahih, demikian pula tentang qabdh. Maka yang mana saja dari keduanya dilakukan oleh orang yang shalat berarti sungguh ia telah mengerjakan Sunnah.

🍂 Yang lebih utama, bila sekali waktu ia lakukan yang ini dan di waktu yang lain ia lakukan yang itu. Adapun menggabungkan antara wadha’ dengan qabdh yang dianggap baik oleh sebagian orang-orang yang belakangan dari kalangan Hanafiyah adalah bid’ah.

✒📑. Gambarannya –sebagaimana yang mereka sebutkan– adalah seseorang meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dengan mengambil/menggenggam pergelangan tangan kiri dengan jari kelingking dan ibu jarinya yang kanan, sementara tiga jari yang lain dibentangkan. Cara ini seperti yang disebutkan dalam Hasyiyah Ibnu Abidin alad Dur (1/454).” (Ashlu Shifah, 1/211­-215)

----------------
🍃Tempat kedua tangan yang disedekapkan🍃

Dalam hal ini terdapat hadits-hadits yang menyebutkan bahwa kedua tangan tersebut diletakkan di bawah pusar, di atas pusar, atau di atas dada. Bila hadits-hadits tersebut tsabit niscaya ini termasuk keragaman dalam ibadah, di mana masing-masing sahabat meriwayatkan apa yang ia saksikan, maka semuanya berarti disyariatkan. Akan tetapi kata guru besar kami, muhaddits dari negeri Yaman, Al-Imam Abu Abdirrahman Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i , “Hadits-hadits yang menyebutkan di bawah pusar dan di atas pusar, beredar pada rawi yang bernama Abdurrahman ibnu Ishaq Al-Kufi, sementara ia dhaif/lemah. Diperselisihkan riwayat yang dibawakannya karena ada kegoncangan (idhthirab) dalam haditsnya. Terkadang ia meriwayatkan dari Ziyad ibnu Zaid sehinggaperiwayatannya tergolong dalam musnad Ali . Sekali waktu ia meriwayatkan dari Sayyar ibnul Hakam dan dijadikannya mauquf (berhenti sanadnya) sampai Abu Hurairah. Terkadang pula ia meriwayatkan dari An-Nu’man ibnu Sa’d sebagaimana dalam riwayat Al-Baihaqi (juz 2, hal. 11) sehingga tergolong dalam musnad Ali. Al-Baihaqi telah mengisyaratkan sebagian perbedaan ini, kemudian beliau berkata, “Abdurrahman ibnu Ishaq matruk (ditinggalkan haditsnya).”

“Di sana ada riwayat lain dari jalur Ghazwan ibnu Jarir Adh-Dhibbi, dari ayahnya, dari perbuatan Ali , tidak marfu’ (sampai) kepada Rasulullah. Pada Ghazwan dan ayahnya sendiri ada jahalah (majhul). Hanya saja riwayat keduanya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah, sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Adapun kalau keduanya bersendiri dalam penetapan suatu hukum maka tidak bisa. Apatah lagi apa yang mereka sebutkan adalah dari perbuatan Ali, sementara perbuatan seorang sahabat bukan hujjah.

🌱Adapun riwayat yang menyebutkan kedua tangan diletakkan di atas dada yang diriwayatkan Ibnu Khuzaimah, maka riwayat tersebut dari jalur Muammal ibnu Ismail. Dia lebih dekat kepada kedhaifan. Terlebih lagi dia bersendiri dalam riwayatnya dari sekelompok huffazh, sebagaimana dalam ta’liq terhadap Nashbur Rayah. Akan tetapi hadits Wail diriwayatkan dari jalur Abdul Jabbar ibnu Wa’il, dari ibunya, dari ayahnya, yang dibawakan Al-Imam Ahmad dan dalam sanadnya ada Qubaishah ibnu Halb. Kata Ibnul Madini, “(Qubaishah ini) majhul, tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Sammak.” An- Nasa’i berkata, “Dia majhul.” Kata Al-‘Ijli, “Dia seorang tabi’in yang tsiqah.” Ibnu Hibban menyebutkannya dalam Ats-Tsiqat sebagaimana dalam Tahdzibut Tahdzib. Yang terpilih dalam hal ini adalah ucapan Ibnul Madini dan An-Nasa’i, karena Al-‘Ijli dan Ibnu Hibban diketahui sering mentsiqahkan orang yangmajhul.

📖 Yang paling shahih dalam masalah ini adalah hadits Thawus yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Di dalamnya disebutkan peletakan tangan di atas dada. Akan tetapi haditsnya mursal, sementara mursal termasuk bagian hadits dhaif. Sehingga yang tampak bagiku adalah perkara di mana kedua tangan itu diletakkan ketika sedekap termasuk perkara yang lapang (tidak dibatasi), sama saja apakah diletakkan di atas pusar, di bawah pusar, ataupun di atas dada. Walaupun riwayat mursal (yang telah kami sebutkan di atas, yaitu meletakkan tangan di atas dada) merupakan riwayat yang paling shahih dalam permasalahan ini. Wallahu a’lam.” (Riyadhul Jannah fir Raddi ‘ala A’da’is Sunnah, hal. 127-128)

 (Insya Allah bersambung)

📑 Sumber http://asysyariah.com/tata-cara-shalat-nabi-bagian-3/


Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang
________________________________
Pada, Selasa 24 Dzulqo'dah 1436H/08 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 🔟 ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🍃🌾 Hukum melepaskan tangan tanpa bersedekap

💺Guru kami yang mulia, Asy-Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata,

🔊 “Telah datang atsar tentang melepaskan tangan tanpa bersedekap di dalam shalat dari sebagian salaf, seperti ‘Abdullah bin Az-Zubair, Ibrahim An-Nakha’i, Sa’id bin Jubair, dan ‘Atha’ bin Abi Rabah, sebagaimana yang ada dalamMushannaf Ibn Abi Syaibah (1/391) dan Mushannaf ‘Abdir Razzaq (2/276).

📣❓❗ Jawaban akan hal ini:

Bisa jadi tidak sampai kepada sebagian mereka hadits-hadits tentang meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat, sementara hadits-hadits itu sampai kepada yang lain. 🔎 Juga bisa jadi mereka menganggap baik dan memandang bahwa melepaskan tangan tanpa bersedekap bisa membantu untuk khusyu’.

🔃📚 Adapun yang tidak sampai padanya dalil-dalil peletakan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat, maka mereka mendapatkan uzur.

🔓💡 Sementara yang menganggap baik hal itu dalam keadaan telah mendapati nash, maka anggapan mereka itu tertolak, siapa pun dia.

🌕🌖 Semoga Allah Subhanahuwata'ala meridhai Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu ketika beliau mengatakan:

📌🔖 “Aku tak pernah meninggalkan sunnah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam karena pendapat seseorang”, atau ucapan yang semakna dengan ini.

⚪ Allah Azza wa jalla berfirman:

“Telah ada pada diri Rasulullah teladan yang baik bagi kalian, bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir.”(Al–Ahzab: 21)

⚪ “Ikutilah apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian, dan janganlah kalian ikuti selain-Nya sebagai wali. Alangkah sedikitnya kalian ingat.” (Al–A’raf: 3)

📌❌ Karena itu, tidak halal bagi seseorang untuk meninggalkan syariat Allah Subhanahuwata'ala karena pendapat Fulan dan Fulan.

➡ Adapun orang-orang yang berpendapat melepaskan tangan, bisa jadi dia tidak mengetahui dalil dan dia diberi uzur, atau dia seorang alim mujtahid yang diberi pahala dengan ijtihadnya, atau seorang pembangkang yang pantas diberikan hukuman.

🔰🚫Tidaklah halal mengikuti mereka semua dalam perkara yang menyelisihi Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Shalallahu'alaihi wa sallan….

☑ Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah telah menetapkan bahwasanya melepaskan tangan itu tidak tsabit (shahih) dari Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam. (Riyadhul Jannah, hal. 131-133)

 (Insya Allah bersambung)

📑 Sumber http://asysyariah.com/tata-cara-shalat-nabi-bagian-3/

Dipublikasikan oleh:

📚 Tholibul Ilmi Cikarang
________________________________
Pada, Rabu 25 Dzulqo'dah 1436H/09 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 1⃣1⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🔰⛔🔓Larangan berkacak pinggang di dalam shalat

⚫ Dalam hadits dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu, Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

نُهِيَ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا

“Seseorang dilarang shalat dalam keadaan berkacak pinggang.”

(HR. Al-Bukhari no. 1220)

⚫ Juga dari Ziyad bin Shabih Al-Hanafi, dia mengatakan:

صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ ابْنِ عُمَرَ، فَوَضَعْتُ يَدَيَّ عَلَى خَاصِرَتَيَّ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: هَذَا الصَّلْبُ فِي الصَّلاَةِ، وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ n يَنْهَى عَنْ ذَلِكَ

💬❗Aku pernah shalat di sisi Ibnu ‘Umar. Maka aku meletakkan kedua tanganku di kedua pinggangku. Ketika telah selesai shalat, Ibnu ‘Umar mengatakan, “Ini adalah perbuatan yang menyerupai salib di dalam shalat, dan dulu Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam melarang yang seperti ini.”

(HR. Abu Dawud no.903, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

⚫ Ibnu Sirin rahimahullah mengatakan bahwa yang dimaksud dalam hadits (Abu Hurairahradhiyallahuanhu) di atas adalah meletakkan tangan di pinggang ketika shalat. Ini pula yang ditetapkan oleh Abu Dawud dan dinukilkan oleh At-Tirmidzi dari sebagian ahlul ilmi.

📌📊 Ini merupakan pendapat yang masyhur tentang penafsiran ikhtishar dalam shalat. (Fathul Bari 3/115)

⚫Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud ikhtishar adalah seseorang meletakkan tangannya di pinggang ketika shalat.

❗💢❗Sebagian ahlul ilmi membenci jika seseorang berjalan dengan berkacak pinggang. Diriwayatkan bahwa iblis bila berjalan sambil berkacak pinggang.”

(Sunan At-Tirmidzi, 1/237)

⚫ Al-Imam Asy-Syaukani mengatakan: “Hadits ini menunjukkan haramnya berkacak pinggang di dalam shalat. Demikian pendapat ahlu zhahir. Sementara Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Ibrahim An-Nakha’i, Mujahid, Ibnu Majlaz, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, ulama ahlul Kufah dan yang lainnya berpendapat makruh.

💫🔎 Yang kuat adalah apa yang dipegangi oleh ahlu zhahir, karena tidak adanya dalil-dalil penyerta yang dapat memalingkan larangan ini dari pengharaman yang merupakan maknanya yang hakiki. Inilah yang benar.” (Nailul Authar, 2/223)

 (Insya Allah bersambung)

🔹🔹🔹🔹🔹🔷🔹🔹🔹🔹🔹

📑 Sumber http://asysyariah.com/tata-cara-shalat-nabi-bagian-3/

Dipublikasikan oleh:

📚 Tholibul Ilmi Cikarang
________________________________
Pada, Kamis 26 Dzulqo'dah 1436H/10 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 1⃣2⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🔎🍃🌏Melihat ke tempat sujud

🔰Semula dalam shalatnya Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam mengangkat pandangannya ke langit. Lalu turunlah ayat:

“(Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (Al-Mu’minun: 2)

💐 Beliau pun menundukkan kepala beliau.

(HR. Al-Hakim 2/393. Al-Imam Al-Albani rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini di atas syarat Muslim, lihat Ashlu Shifah1/230)

🔻Aisyah radhiyallahuanha berkata:

دَخَلَ رَسُولُ اللهِ n الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُودِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا

“Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam masuk Ka’bah (untuk mengerjakan shalat, pen.) dalam keadaan pandangan beliau tidak meninggalkan tempat sujudnya (terus mengarah ke tempat sujud) sampai beliau keluar dari Ka’bah.”

(HR. Al-Hakim 1/479 dan Al-Baihaqi 5/158. Kata Al-Hakim, “Shahih di atas syarat Syaikhan.” Hal ini disepakati Adz-Dzahabi. Hadits ini seperti yang dikatakan keduanya, kata Al-Imam Albani rahimahullah. Lihat Ashlu Shifah 1/232)

📚🎨 Ulama berbeda pendapat, ke arah mana sepantasnya pandangan orang yang shalat tertuju.

⚪Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya menyebutkan:

“Bab Raf’ul bashar ilal imam fish shalah (mengangkat pandangan ke imam di dalam shalat).

📌📄Lalu beliau membawakan beberapa hadits yang menunjukkan bahwasanya para shahabat dahulu melihat kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam dalam keadaan shalat pada beberapa kejadian yang berbeda-beda.

🔻Seperti riwayat Abu Ma’mar, ia berkata: Kami bertanya kepada Khabbab radhiyallahuanhu, “Apakah dulunya Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam membaca Al-Qur’an saat berdiri dalam shalat dhuhur dan ashar?” Khabbab menjawab, “Iya.” “Dengan apa kalian mengetahui hal tersebut[1]?” Khabbab menjawab lagi, “Dengan melihat gerakan naik turunnya jenggot beliau.” (no. 746)

🌕🌏🌑 Demikian pula kabar tentang shalat gerhana matahari seperti yang diberitakan Abdullah bin Abbas radhiyallahuanhuma. Di dalamnya disebutkan bahwa para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam ,
“Wahai Rasulullah, dalam shalat tadi kami melihatmu mengambil sesuatu pada tempatmu, kemudian kami melihatmu tertahan (tidak jadi mengambilnya).” (no. 748)

📎📒Al-Imam Malik rahimahullah berpendapat, pandangan diarahkan ke kiblat.

💡Adapun Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dan orang-orang Kufah berpandangan disenanginya orang yang shalat melihat ke tempat sujudnya karena yang demikian itu lebih dekat kepada kekhusyuan.

✒Al-Hafizh rahimhullah berkata, “Memungkinkan bagi kita memisahkan antara imam dan makmum. Disenangi bagi imam melihat ke tempat sujudnya. Demikian pula makmum, kecuali bila ia butuh untuk memerhatikan imamnya (guna mencontoh sang imam, pen.).

🔑Adapun orang yang shalat sendirian, maka hukumnya seperti hukum imam (yaitu melihat ke tempat sujud). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 2/301)

✒Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata,

“Dengan perincian yang disebutkan Al-Hafizh rahimahullah di atas dapat dikumpulkanlah hadits-hadits yang dibawakan oleh Al-Bukhari dalam babnya dan hadits-hadits yang menyebutkan tentang melihat ke tempat sujud. Ini merupakan pengumpulan yang bagus. Wallahu ta’ala a’lam.” (Ashlu Shifah 1/233)

📥Sumber:

http://asysyariah.com/melihat-ke-tempat-sujud-bagian-ke-4/

Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang
________________________________
Pada, Jum'at 27 Dzulqo'dah 1436H/11 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 1⃣3⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
___________________________

🔐🔎💡Memejamkan mata ketika shalat

▪Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:

“Yang benar, memejamkan mata di dalam shalat adalah perkara yang dibenci, karena menyerupai perbuatan orang-orang Majusi dalam peribadatan mereka terhadap api, di mana mereka memejamkan kedua mata. Dikatakan pula bahwa hal itu termasuk perbuatan orang-orang Yahudi.

⛔🚫Sementara menyerupai selain muslimin minimal hukumnya haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam rahimahullah.

🌑❌Oleh karena itu, memejamkan mata dalam shalat minimalnya makruh, kecuali jika di sana ada sebab, seperti misalnya di sekitarnya terdapat perkara-perkara yang bisa melalaikannya dari shalat kalau dia membuka matanya. Dalam keadaan seperti itu, dia boleh memejamkan mata untuk menghindari kerusakan tersebut.” (Asy–Syarhul Mumti’, 3/41)

▶🚫 Larangan melihat ke langit/ ke atas ⬆ ketika shalat

🔎Melihat ke langit/ke atas adalah perkara yang diharamkan dan termasuk dari dosa besar, sebagaimana hadits Jabir bin Samurah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرجِعُ إِلَيهِم

“Hendaklah orang-orang itu sungguh-sungguh menghentikan untuk mengangkat pandangan mereka ke langit ketika dalam keadaan shalat, atau (bila mereka tidak menghentikannya) pandangan mereka itu tidak akan kembali kepada mereka.”

▪Dalam satu riwayat:

أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ

“Atau sungguh-sungguh akan disambar pandangan-pandangan mereka.” (HR. Muslim no. 965, 966)

✒Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, “Hadits ini menunjukkan larangan yang ditekankan dan ancaman yang keras dalam masalah tersebut.”

(Al-Minhaj, 4/372)

🔹Bersambung insyaallah🔹

📥Sumber:

http://asysyariah.com/melihat-ke-tempat-sujud-bagian-ke-4/

#Sifat-sholat-nabi
___________________________
Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang

Pada, Sabtu 28 Dzulqo'dah 1436H/12 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 1⃣4⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
_____________________

🚫🔎🍃 Larangan menoleh dalam shalat

🔰Aisyah radhiyallahuanha pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam tentang menoleh ketika sedang shalat. Beliau menjawab:

هُوَ اخْتِلاَسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلاَةِ الْعَبْدِ

“Menoleh dalam shalat adalah sambaran cepat, di mana setan merampasnya dari shalat seorang hamba.”

(HR. Al-Bukhari no. 751)

▫Abu Dzar radhiyallahuanhu berkata: Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَزَالُ اللهُ مُقْبِلًا عَلَى الْعَبْدِ فِي صَلاَتِهِ مَا لَمْ يَلْتَفِتْ، فَإِذَا صَرَفَ وَجْهَهُ انْصَرَفَ عَنْهُ

“Terus-menerus Allah menghadap kepada seorang hamba yang sedang mengerjakan shalat selama si hamba tidak menoleh. Bila si hamba memalingkan wajahnya, Allah pun berpaling darinya.”

(HR. Abu Dawud no. 909. Dishahihkan dalam Shahih At-Targhib no. 552)

⚠💈 Menoleh karena sesuatu yang mengejutkan atau karena suatu kebutuhan

🍃 Anas bin Malik radhiyallahuanhu berkisah,

“Tatkala kaum muslimin sedang mengerjakan shalat fajar, tak ada yang mengejutkan mereka kecuali Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam (yang ketika itu sedang sakit sehingga tidak dapat hadir shalat berjamaah bersama mereka, pen.) tiba-tiba menyingkap tabir penutup kamar Aisyah, lalu memandang mereka dalam keadaan mereka berada dalam shaf-shaf. Beliau pun tersenyum lalu tertawa.

🌾Abu Bakr radhiyallahuanhu yang saat itu mengimami manusia hendak mundur untuk bergabung dengan shaf di belakangnya, karena ia menyangka Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam ingin keluar (untuk mengimami mereka).

💫💦 Kaum muslimin pun hampir-hampir terfitnah dalam shalat mereka karena gembiranya mereka melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam . Namun ternyata Rasulullah memberi isyarat kepada mereka yang bermakna,

“Sempurnakanlah shalat kalian.” ❗❗

🚪🔐Setelah itu beliau mengulurkan kembali tabir penutup kamar Aisyah. Ternyata beliau wafat di akhir hari tersebut.”

 (HR. Al-Bukhari no. 754)

📚📌 Hadits di atas menunjukkan bahwa tatkala Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam menyingkap tabir kamar Aisyah yang posisinya di kiri kiblat, para sahabat radhiyallahuanhuma menoleh ke arah beliau.

🔭📎 Karena menolehlah mereka dapat melihat isyarat beliau Shalallahu'alaihi wa sallam kepada mereka. Dengan tolehan tadi Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam tidak memerintahkan mereka untuk mengulang shalat mereka, bahkan menetapkan shalat mereka dengan isyarat agar mereka melanjutkannya.

(Fathul Bari, 2/306)

💡Suatu ketika, Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam terlambat datang untuk mengimami manusia karena ada keperluan yang ingin beliau selesaikan.

🔆 Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahuanhu pun diminta menjadi imam. Di tengah shalat, datanglah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bergabung dalam shaf. Orang-orang pun bertepuk tangan ingin memperingatkan Abu Bakr radhiyallahuanhu tentang keberadaan Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam .

🏮🚧 Sementara Abu Bakr radhiyallahuanhu tidak pernah menoleh dalam shalatnya. Namun tatkala semakin ramai orang-orang memberi isyarat dengan tepuk tangan, Abu Bakr radhiyallahuanhu pun menoleh hingga ia melihat Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam .

☁🍂 Abu Bakr radhiyallahuanhu ingin mundur, namun Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam memberi isyarat yang bermakna,“Tetaplah engkau di tempatmu.”

(HR. Al-Bukhari no. 684)

💾🔑 Hadits di atas menunjukkan Abu Bakr radhiyallahuanhu menoleh dalam shalatnya karena suatu kebutuhan, dan Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam tidak menyuruh Abu Bakr radhiyallahuanhu mengulang shalatnya, bahkan mengisyaratkan agar melanjutkan keimamannya.

☑ Dengan demikian, menoleh dalam shalat tidaklah mencacati shalat tersebut terkecuali bila dilakukan tanpa ada kebutuhan.

(Fathul Bari, 2/305)

🚡🚏Dalil lain yang juga menunjukkan bolehnya menoleh bila ada kebutuhan adalah hadits yang berisi perintah Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam untuk membunuh ular dan kalajengking bila didapati oleh seseorang yang sedang mengerjakan shalat.

📣 Sementara membunuh hewan ini berarti membutuhkan gerakan-gerakan di luar gerakan shalat dan mungkin butuh untuk menoleh. Abu Hurairah radhiyallahuanhu berkata:

أَمَرَ رَسُولُ اللهِ n بِقَتْلِ الْأَسْوَدَينِ فِي الصَّلاَةِ: الْحَيَّةِ وَالْعَقْرَبِ

“Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh dua yang hitam di dalam shalat, yaitu ular dan kalajengking.”

(HR. At-Tirmidzi no. 390, dishahihkan dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

✏📋 Setelah membawakan hadits di atas, Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ini yang diamalkan oleh sebagian ahlul ilmu dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam dan selain mereka.

🎯 Dengan ini pula Al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat, demikian pula Ishaq. Sebagian ahlul ilmi yang lain membenci untuk membunuh ular dan kalajengking di dalam shalat. Kata Ibrahim An-Nakha’i, “Sesungguhnya dalam shalat itu ada kesibukan.” Namun pendapat pertama yang lebih shahih/benar.”

(Sunan At-Tirmidzi, Kitab Ash-Shalah, Bab Ma ja’a fi qatlil hayyah wal ‘aqrab fish shalah)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

 (insya Allah bersambung)

📥Sumber:

http://asysyariah.com/melihat-ke-tempat-sujud-bagian-ke-4/

#Sifat-sholat-nabi
___________________________
Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang

Pada Ahad 29 Dzulqo'dah 1436H/ 13 September 2015M
[5:07 02/10/2015] ابو ريحن: ~ Bagian 1⃣5⃣ ~

🌀🔑📚 Sifat Shalat Nabi

📝 Ditulis oleh Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari
_____________________

📚 Doa-doa Istiftah
Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam membuka bacaan beliau dalam shalat dengan mengucapkan doa-doa yang banyak lagi beragam.

🚪🔎 Di dalamnya beliau memuji Allah Subhanahuwata'ala, memuliakan-Nya dan menyanjung-Nya. Doa-doa inilah yang diistilahkan dengan doa istiftah.

▫Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam bersabda kepada Rifa’ah ibn Rafi’ radhiyallahuanhu, sahabatnya yang keliru dalam shalatnya (al-musi’u shalatuhu):

إِنَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوْءَ –يَعْنِي مَوْضِعَهُ- ثُمَّ يُكَبِّرَ، وَيَحْمَدَ اللهَ l،وَيُثْنِيَ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأَ بمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ …

“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari manusia hingga ia berwudhu lalu meletakkan wudhunya pada tempat-tempatnya, kemudian ia bertakbir, memuji Allah Subhanahuwata'ala dan menyanjung-Nya serta membaca apa yang mudah baginya dari Al-Qur’an…”

(HR. Abu Dawud no. 857, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)

🍃🔇Doa istiftah ini dibaca dengan sirr (tidak dikeraskan), dan pendapat yang rajih (kuat) hukumnya mustahab (sunnah) sebagaimana pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka.

✒ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,

“Tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, ‘Tidak dibaca doa istiftah ini dan tidak ada sama sekali bacaan apapun antara Al-Fatihah dan takbir. Yang seharusnya ia ucapkan adalah bertakbir: Allahu Akbar, lalu membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin sampai akhir dari surah Al-Fatihah.”

(Al-Majmu’, 3/278)

Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Pendapat Al-Imam Malik rahimahullah ini memberikan konsekuensi batalnya tiga sunnah:

1⃣ Pertama: doa istiftah

2⃣ Kedua: isti’adzah (mengucapkan A’udzubillah… dst, memohon perlindungan dari gangguan setan)

3⃣ Ketiga: basmalah

❗☑ Padahal ini merupakan sunnah yang pasti lagi mutawatir dari Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam. Yang nampak, sunnah-sunnah ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik rahimahullah, ataupun sampai kepada beliau akan tetapi beliau tidak mengambilnya karena suatu sebab menurut beliau.”

(Ashlu Shifati Shalatin Nabi Shalallahu'alaihi wa sallam , 1/239-240)

💈⚠ Sebagaimana telah disinggung di atas, doa-doa istiftah itu banyak dan beragam. Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallam sendiri mengganti-ganti bacaan doa istiftahnya.

📣Terkadang membaca doa yang ini, di kali lain membaca doa yang itu dan seterusnya. Ketika shalat fardhu beliau membaca yang satu dan ketika shalat nafilah/sunnah beliau membaca yang lainnya.

▫Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata,

“Sepantasnya bagi seseorang beristiftah sekali waktu dengan (doa istiftah) yang ini dan di waktu lain dengan (doa istiftah) yang itu, agar ia menunaikan sunnah-sunnah seluruhnya. Dengan cara seperti itu, berarti ia juga menghidupkan sunnah serta lebih menghadirkan hati.

❓❗Mengapa? Karena bila seseorang hanya membaca satu macam doa istiftah secara terus-menerus (tidak menggantinya dengan doa yang lain), niscaya hal itu akan menjadi kebiasaan baginya. Sampai-sampai saat ia bertakbiratul ihram dalam keadaan hatinya lalai (tidak perhatian dengan amalan shalatnya) sementara telah menjadi kebiasaannya beristiftah dengan “Subhanaka allahumma wa bihamdik…”, maka ia akan dapati dirinya tanpa sadar mulai membaca doa istiftah tersebut.”

(Asy-Syarhul Mumti’, 3/48)

🔹Bersambung insyaallah🔹

📥Sumber:
http://asysyariah.com/shifat-shalat-nabi-bagian-5/

#Sifat-sholat-nabi
___________________________
Dipublikasikan oleh:
📚 Tholibul Ilmi Cikarang

Pada Senin 30 Dzulqo'dah 1436H/ 14 September 2015M

Posting Komentar

Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam. [HR. Al-Bukhori, 6018. Muslim, 47]
© Forum Salafiyyin Sampit. All rights reserved. Premium By Raushan Design